Selasa, 08 Desember 2009

Bersemangat, Meski Hidup Tak Semanis Kue


Minggu, 6 Desember 2009, merupakan salah satu hari yang terbilang luar biasa bagi kami. Di bawah sebuah pohon rindang yang menaungi kesunyian trotoar kampus UKSW siang itu, kami bertemu dengan seorang lelaki setengah baya, terduduk di samping sebuah gerobak berwarna merah muda. Lelaki yang bernama Sungatmin itulah yang membuat hari Minggu kami menjadi istimewa. Keistimewaan itu kami temukan setelah sekitar 30 menit berbincang tentang seluk beluk hidup yang dienyamnya selama 47 tahun.

MESKI HIDUP TAK SEMANIS KUE: Sungatmin dengan gerobak kuenya

Sungatmin menuturkan kesederhanaan hidup yang dibangun di atas pekerjaannya sebagai seorang penjual kue. Setiap harinya, pria yang bertempat tinggal di daerah Pereng Salatiga itu menempuh 45 menit perjalanan dengan kedua kakinya menuju pabrik pembuat kue yang akan dijajakannya. Setelah itu, ketika waktu menunjukkan pukul 5 pagi, Sungatmin mulai mendorong gerobaknya yang berisi beraneka macam kue, roti dan susu kedelai menuju Puskesmas Kalicacing, di mana dia berjualan kue pada hari Senin hingga Sabtu. Tiba pada hari Minggu, dia berpindah tempat berjualan ke muka gerbang kampus UKSW, seperti yang dilakukannya hari ini. Begitu menghentikan gerobak di tempatnya berdagang, Sungatmin akan menanti kedatangan pembeli hingga pukul 2 siang, dan sehabis itu dia akan mendorong gerobak kembali ke pabrik kue untuk mempertanggung jawabkan hasil dagangannya hari itu. “Dalam satu hari, saya mendapatkan 20% dari hasil penjualan kue-kue ini. Ya, kadang-kadang dapat dua puluh ribu, kadang-kadang bisa sampai dua puluh lima ribu, tapi ya kadang malah cuma dapat sepuluh ribu saja,” kata pria beranak dua tersebut.

Pekerjaan sebagai pedagang kue telah dijalani Sungatmin selama 3 tahun terakhir, setelah sebelumnya dia bekerja sebagai kurir enting-enting gepuk khas Salatiga dengan tujuan Cepu Jawa Timur dan Tasikmalaya Jawa Barat, kemudian beralih ke pekerjaan sebagai kurir es balok selama 21 tahun. “Saat saya bekerja di pabrik es balok, saya pernah jatuh terpeleset waktu membawa es balok sebesar ini,” ujarnya sambil menunjuk batang pohon yang ada di belakangnya, “Sampai tangan saya patah dan harus diurut dengan biaya 1 juta.” Menurut keterangan yang dipaparkan oleh Sungatmin, pihak pabrik es balok tidak memberikan biaya berobat. Sungatmin membiayai pengobatan tangannya itu dengan uang yang disisihkan dari hasil pekerjaan setiap harinya. “Karena kecelakaan itu saya keluar dari pekerjaan saya dan menganggur selama 1 tahun di rumah, baru setelah itu saya bekerja lagi sebagai kuli bangunan selama 3 bulan kemudian melamar pekerjaan di perusahaan kue sampai sekarang.”

Bagi sebagian orang, mungkin pekerjaan sebagai penjual kue dianggap remeh dan mendatangkan untung kecil. Namun, dari pekerjaan itu, Sungatmin dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, menyekolahkan anak bungsunya hingga jenjang SMK, bahkan menyisihkan sebagian penghasilan hariannya untuk ditabung di bank. Sebenarnya, apa yang menjadi rahasia sukses dari seorang Sungatmin? Mind set! “Yang penting pikiran kita dalam bekerja itu santai, nggak perlu ngoyo, buat saya yang penting keluarga bisa makan cukup, anak bisa sekolah sampai berhasil,” tutur Sungatmin yang tampak sangat membanggakan anak bungsunya yang dapat memainkan beberapa alat musik. Selain mind set tentang hidup yang santai, Sungatmin juga memberlakukan hidup hemat terutama terhadap anak lelakinya yang bernama Bayu Kurniawan. Sungatmin sengaja tidak membelikan motor untuk puteranya, “Bukannya saya nggak bisa, tapi uangnya mau saya tabung dulu untuk diberikan pada Bayu setelah lulus SMK, karena kalau dibelikan sepeda motor sekarang, takutnya dipakai macam-macam seperti anak-anak jaman sekarang.”

Sebuah teladan yang bisa kita petik dari penuturan pengalaman hidup Sungatmin, seorang penjual kue yang bangga dengan kesederhanaannya, yaitu bagaimana kita mengatur dan menjalani hidup ini dengan penuh syukur hingga kita meraih kesuksesan dalam hidup sesuai ukuran yang kita tentukan. (kelompok 1, Pelatihan Jurnalistik )