Minggu, 24 Juni 2012

Bapak

Setelah bapakku pensiun dari BTPN, beliau mencari kesibukan dengan membuka sebuah les musik bernama Green House Music, tepatnya di kediamanku di kota Purworejo. Disitu beliau tampak menyayangi murid-muridnya. Dengan sabar beliau mengajarkan bagaimana cara memainkan tuts-tuts organ dan keyboard, memetik senar gitar, dan mengolah vocal. Aku rindu mendengarkan alunan musik itu. Dulu hampir setiap hari aku selalu menikmatinya. Beberapa orangtua murid beliau berkata bahwa bapakku adalah tipe guru musik yang nggak pernah itung-itungan dalam hal waktu. Kadang bapakku sering melebihkan batas waktu yang sudah ditetapkan agar si anak dapat lebih puas dalam belajar musik.
Suatu hari bapakku membeli banyak sekali snack coklat seperti Top, Beng-Beng, Momogi, dan Better. Beliau simpan di sebuah toples dan diletakkannya toples itu di ruang tamu. Ternyata semua itu untuk murid-murid kesayangannya. Beliau ingin menciptakan suasana yang senyaman mungkin untuk anak didiknya. Kata bapak, aku juga boleh ikut mencicipinya. Yes, Asyikk…! 
Suatu hari aku melihat bapakku sedang mengajarkan not-not angka kepada salah satu muridnya. Aku melihat beliau hanya menggunakan sebuah batang bolpoint yang tidak terlalu panjang untuk menunjukkan letak not-not angka tersebut. Sepertinya bapakku butuh stick yang lebih panjang dari itu. Kemudian aku iseng memberikan stick penyangga balon yang aku dapatkan ketika aku belanja di Indomaret, kebetulan saat itu Indomaret sedang promo dalam rangka pembukaan toko baru sehingga setiap pengunjung mendapatkan hadiah balon satu-satu. Aku tidak bisa memberikan stick yang biasa dipegang oleh Erwin Gutawa atau Purwacaraka saat memimpin orkestra, seperti yang sering kita lihat di TV. Aku hanya bisa membantu beliau dengan stick balonku itu. Tampaknya bapakku terlihat nyaman dan enjoy setelah menggunakan ‘tongkat ajaib’ku itu. 
Hari berganti hari nampaknya tongkat ajaibku itu tampak berguna daripada  hanya untuk menyangga balon yang makin lama makin kempes aja. Bapakku selalu menyampaikan ucapan terima kasih kepadaku karena keberadaan stick balon itu. Murid bapakku makin lama makin banyak dan bisa dibilang bapakku mendapat cukup banyak rejeki dari hasil jerih payahnya itu. Setiap kali ketika aku akan berangkat ke Salatiga untuk meneruskan kuliah, bapakku selalu menyiapkan amplop yang sebelumnya selalu beliau sembunyikan dahulu di balik punggungnya. Seperti memberikan kejutan untuk anak kecil, tiba-tiba ia mengeluarkan amplop dari persembunyiannya dan memberikannya kepadaku. Amplop itu bertuliskan MAYA yang di bawahnya selalu digaris bawahi kemudian bapakku selalu mencantumkan tanggal sesuai dengan tanggal saat itu. Sumpah, aku terharu banget ketika mengenang saat-saat itu. Meskipun isinya tidak seberapa namun aku selalu bersyukur mendapatkan uang saku dari beliau.
Bersamaan dengan alunan merdu suara organ dan keyboard yang selalu aku dengar setiap hari, seolah-olah terdengar seperti ada suara lain. Suara rintihan menahan sakit yang hampir tidak terdengar. Sebenarnya bapak sedang kurang sehat. Beliau harus berjuang melawan penyakitnya yang pelan tapi pasti selalu mengganggu kenyamanannya. Bapakku menderita diabetes yang pada akhirnya mengharuskan beliau untuk melakukan hemodialisa alias cuci darah karena gagal ginjal.
Hari demi hari, keadaan bapakku semakin tidak stabil dan dengan berat hati bapakku menutup les musiknya untuk sementara waktu. Setiap 1 minggu, bapakku harus menjalani cuci darah sebanyak 2 kali. Menjadi penderita gagal ginjal itu sungguh menyiksa. Tidak boleh minum terlalu banyak padahal dahaga sudah membabi buta. Aku selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah untuk menemani beliau menjalani cuci darah. Ketika jadwal yang ditentukan sudah tiba, aku dan bapakku bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit dengan bantuan tukang becak di depan rumahku. Bekal yang aku bawa cukup banyak, ada makanan ringan, termos yang berisi wedang teh, gelas plastik, tissue, dan pinset. Pinset? Buat apa? Bapakku adalah pasien yang paling unik diantara pasien-pasien hemodialisa lainnya. Ketika proses cuci darah sedang berlangsung, beliau selalu memintaku untuk mencabuti uban-uban yang ada di kepalanya menggunakan pinset. Setelah itu beliau juga memintaku untuk mencabuti rambut jenggotnya yang cukup lebat itu. Kadang aku sering malu kepada suster-suster dan pasien disana ketika sedang menjalani ritual itu. Sampai-sampai aku sering berbohong kepada bapakku kalau ubannya udah habis dan jenggotnya udah bersih. Namun bapakku hanya tersenyum sambil berkata bahwa cuma itulah cara yang paling bisa mengurangi rasa sakitnya ketika menjalani cuci darah. Setelah beliau berkata seperti itu, aku tidak bisa berkutik. Aku tidak bisa membohonginya lagi.
Pasien-pasien dan suster-suster disana sudah seperti keluarga sendiri. Kami sering mengobrol dan bercanda bersama disana. Bapak pernah bilang kepadaku, beliau seneng banget jika yang bertugas menemaninya saat itu adalah aku. Katanya proses cuci darahnya menjadi tidak terasa sakit dan waktunya terasa cepet banget kalau Maya yang nemenin. Hmmm, bapak ni lho sempet-sempete nggombal! Saat itu aku cuma bisa menjulurkan lidah sambil ketawa. Padahal di sisi lain air mata ini sudah hampir menetes.
Hingga suatu kali aku mendapat laporan dari ibuku kalau bapak nggak mau cuci darah lagi secara rutin. Beliau mengaku masih kuat dan sehat. Jadi, cuci darahnya hanya 1 kali dalam seminggu. Lho nggak bisa gitu dong, aku sempet agak marah ketika bapak jadi males cuci darah. Selidik punya selidik, ibuku membuka kartu bahwa bapak tidak mau uangnya habis cuma untuk cuci darah, beliau lebih rela kalau uangnya digunakan untuk uang saku anak-anaknya. Mengingat biaya cuci darah juga tidak sedikit, bapakku harus menyiapkan sekitar 700 ribu setiap kali cuci darah. Kalau seminggu 2 kali berarti 1 juta 400 ribu per minggu. Busyet, sampai segitunya bapakku berkorban demi anak-anaknya. Aku tak sampai hati. Dan lagi-lagi aku terharu, namun kali ini hatiku hancur. Padahal aku dan kakakku sudah merasa cukup walaupun cuma dapat uang saku dari ibu. Akhirnya setelah dibujuk, bapakku mau cuci darah lagi secara rutin.
Akhirnya, di suatu hari aku kembali berpamitan untuk berangkat ke Salatiga. Anehnya bapakku tidak memberikan amplop kejutan yang bertuliskan MAYA lagi seperti yang biasanya beliau lakukan. Ketika sedang berjabat tangan, beliau mencium keningku dan membisikkan kalimat di telingaku : “Sangune njupuk wae ning dompete bapak. Terserah meh njupuk piro”. (Uang sakunya ambil aja di dompetnya bapak. Terserah mau ambil berapa). Saat itu hatiku tersentak dan seketika itu juga aku tidak bergairah mengambil uang bapak sepeser pun meskipun sudah dipersilahkan. Kalau nggak salah aku berkata kepada bapakku bahwa aku sudah cukup mendapat uang saku dari ibu. Aku merasa hari itu ada yang beda. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Rasanya aku tidak ingin meninggalkan rumah, namun mobil temanku sudah terlanjur menjemputku untuk berangkat ke Salatiga. Dan ternyata firasatku memang benar, hari itu adalah hari terakhir aku menatap matanya yang teduh, mendapatkan pelukan hangat darinya, berjabat tangan dengannya, dan hmm… ee…emm… sudahlah tidak perlu diteruskan karena hanya menambah rasa sesak di dada. 

Tulisan ini sengaja aku tulis untuk mengenang dan memperingati 3 tahun kepergian Bapakku terkasih,
RIP : R. Syatsam Hadi Banter.