Setelah
bapakku pensiun dari BTPN, beliau mencari kesibukan dengan membuka sebuah les
musik bernama Green House Music, tepatnya di kediamanku di kota Purworejo.
Disitu beliau tampak menyayangi murid-muridnya. Dengan sabar beliau mengajarkan
bagaimana cara memainkan tuts-tuts organ dan keyboard, memetik senar gitar, dan
mengolah vocal. Aku rindu mendengarkan alunan musik itu. Dulu hampir setiap
hari aku selalu menikmatinya. Beberapa orangtua murid beliau berkata bahwa bapakku
adalah tipe guru musik yang nggak pernah itung-itungan dalam hal waktu. Kadang
bapakku sering melebihkan batas waktu yang sudah ditetapkan agar si anak dapat
lebih puas dalam belajar musik.
Suatu
hari bapakku membeli banyak sekali snack coklat seperti Top, Beng-Beng, Momogi,
dan Better. Beliau simpan di sebuah toples dan diletakkannya toples itu di
ruang tamu. Ternyata semua itu untuk murid-murid kesayangannya. Beliau ingin
menciptakan suasana yang senyaman mungkin untuk anak didiknya. Kata bapak, aku
juga boleh ikut mencicipinya. Yes, Asyikk…!
Suatu
hari aku melihat bapakku sedang mengajarkan not-not angka kepada salah satu
muridnya. Aku melihat beliau hanya menggunakan sebuah batang bolpoint yang
tidak terlalu panjang untuk menunjukkan letak not-not angka tersebut. Sepertinya
bapakku butuh stick yang lebih panjang dari itu. Kemudian aku iseng memberikan
stick penyangga balon yang aku dapatkan ketika aku belanja di Indomaret,
kebetulan saat itu Indomaret sedang promo dalam rangka pembukaan toko baru sehingga
setiap pengunjung mendapatkan hadiah balon satu-satu. Aku tidak bisa memberikan
stick yang biasa dipegang oleh Erwin Gutawa atau Purwacaraka saat memimpin
orkestra, seperti yang sering kita lihat di TV. Aku hanya bisa membantu beliau
dengan stick balonku itu. Tampaknya bapakku terlihat nyaman dan enjoy setelah
menggunakan ‘tongkat ajaib’ku itu.
Hari
berganti hari nampaknya tongkat ajaibku itu tampak berguna daripada hanya untuk menyangga balon yang makin lama
makin kempes aja. Bapakku selalu menyampaikan ucapan terima kasih kepadaku
karena keberadaan stick balon itu. Murid bapakku makin lama makin banyak dan
bisa dibilang bapakku mendapat cukup banyak rejeki dari hasil jerih payahnya
itu. Setiap kali ketika aku akan berangkat ke Salatiga untuk meneruskan kuliah,
bapakku selalu menyiapkan amplop yang sebelumnya selalu beliau sembunyikan
dahulu di balik punggungnya. Seperti memberikan kejutan untuk anak kecil,
tiba-tiba ia mengeluarkan amplop dari persembunyiannya dan memberikannya kepadaku.
Amplop itu bertuliskan MAYA yang di bawahnya selalu digaris bawahi kemudian
bapakku selalu mencantumkan tanggal sesuai dengan tanggal saat itu. Sumpah, aku
terharu banget ketika mengenang saat-saat itu. Meskipun isinya tidak seberapa
namun aku selalu bersyukur mendapatkan uang saku dari beliau.
Bersamaan
dengan alunan merdu suara organ dan keyboard yang selalu aku dengar setiap
hari, seolah-olah terdengar seperti ada suara lain. Suara rintihan menahan
sakit yang hampir tidak terdengar. Sebenarnya bapak sedang kurang sehat. Beliau
harus berjuang melawan penyakitnya yang pelan tapi pasti selalu mengganggu
kenyamanannya. Bapakku menderita diabetes yang pada akhirnya mengharuskan
beliau untuk melakukan hemodialisa
alias cuci darah karena gagal ginjal.
Hari
demi hari, keadaan bapakku semakin tidak stabil dan dengan berat hati bapakku
menutup les musiknya untuk sementara waktu. Setiap 1 minggu, bapakku harus
menjalani cuci darah sebanyak 2 kali. Menjadi penderita gagal ginjal itu
sungguh menyiksa. Tidak boleh minum terlalu banyak padahal dahaga sudah membabi
buta. Aku selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah untuk menemani beliau
menjalani cuci darah. Ketika jadwal yang ditentukan sudah tiba, aku dan bapakku
bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit dengan bantuan tukang becak di
depan rumahku. Bekal yang aku bawa cukup banyak, ada makanan ringan, termos
yang berisi wedang teh, gelas plastik, tissue, dan pinset. Pinset? Buat apa?
Bapakku adalah pasien yang paling unik diantara pasien-pasien hemodialisa
lainnya. Ketika proses cuci darah sedang berlangsung, beliau selalu memintaku
untuk mencabuti uban-uban yang ada di kepalanya menggunakan pinset. Setelah itu
beliau juga memintaku untuk mencabuti rambut jenggotnya yang cukup lebat itu.
Kadang aku sering malu kepada suster-suster dan pasien disana ketika sedang
menjalani ritual itu. Sampai-sampai aku sering berbohong kepada bapakku kalau
ubannya udah habis dan jenggotnya udah bersih. Namun bapakku hanya tersenyum
sambil berkata bahwa cuma itulah cara yang paling bisa mengurangi rasa sakitnya
ketika menjalani cuci darah. Setelah beliau berkata seperti itu, aku tidak bisa
berkutik. Aku tidak bisa membohonginya lagi.
Pasien-pasien
dan suster-suster disana sudah seperti keluarga sendiri. Kami sering mengobrol
dan bercanda bersama disana. Bapak pernah bilang kepadaku, beliau seneng banget
jika yang bertugas menemaninya saat itu adalah aku. Katanya proses cuci
darahnya menjadi tidak terasa sakit dan waktunya terasa cepet banget kalau Maya
yang nemenin. Hmmm, bapak ni lho sempet-sempete
nggombal! Saat itu aku cuma bisa menjulurkan lidah sambil ketawa. Padahal di
sisi lain air mata ini sudah hampir menetes.
Hingga
suatu kali aku mendapat laporan dari ibuku kalau bapak nggak mau cuci darah lagi
secara rutin. Beliau mengaku masih kuat dan sehat. Jadi, cuci darahnya hanya 1
kali dalam seminggu. Lho nggak bisa gitu dong, aku sempet agak marah ketika
bapak jadi males cuci darah. Selidik punya selidik, ibuku membuka kartu bahwa
bapak tidak mau uangnya habis cuma untuk cuci darah, beliau lebih rela kalau
uangnya digunakan untuk uang saku anak-anaknya. Mengingat biaya cuci darah juga
tidak sedikit, bapakku harus menyiapkan sekitar 700 ribu setiap kali cuci
darah. Kalau seminggu 2 kali berarti 1 juta 400 ribu per minggu. Busyet, sampai
segitunya bapakku berkorban demi anak-anaknya. Aku tak sampai hati. Dan
lagi-lagi aku terharu, namun kali ini hatiku hancur. Padahal aku dan kakakku
sudah merasa cukup walaupun cuma dapat uang saku dari ibu. Akhirnya setelah
dibujuk, bapakku mau cuci darah lagi secara rutin.
Akhirnya,
di suatu hari aku kembali berpamitan untuk berangkat ke Salatiga. Anehnya
bapakku tidak memberikan amplop kejutan yang bertuliskan MAYA lagi seperti yang
biasanya beliau lakukan. Ketika sedang berjabat tangan, beliau mencium keningku
dan membisikkan kalimat di telingaku : “Sangune
njupuk wae ning dompete bapak. Terserah meh njupuk piro”. (Uang sakunya
ambil aja di dompetnya bapak. Terserah mau ambil berapa). Saat itu hatiku
tersentak dan seketika itu juga aku tidak bergairah mengambil uang bapak sepeser
pun meskipun sudah dipersilahkan. Kalau nggak salah aku berkata kepada bapakku
bahwa aku sudah cukup mendapat uang saku dari ibu. Aku merasa hari itu ada yang
beda. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Rasanya aku tidak ingin meninggalkan
rumah, namun mobil temanku sudah terlanjur menjemputku untuk berangkat ke
Salatiga. Dan ternyata firasatku memang benar, hari itu adalah hari terakhir
aku menatap matanya yang teduh, mendapatkan pelukan hangat darinya, berjabat
tangan dengannya, dan hmm… ee…emm… sudahlah tidak perlu diteruskan karena hanya
menambah rasa sesak di dada.
Tulisan ini
sengaja aku tulis untuk mengenang dan memperingati 3 tahun kepergian Bapakku
terkasih,
RIP : R. Syatsam Hadi Banter.